Rabu, 18 Mei 2011

Lesehan Tepi Kali Code

Nongkrong a la Kali Code

Jika Anda melewati jalan I Nyoman Oka di tepi Kali Code pada malam hari, terlebih pukul 22.00 ke atas, yang tampak adalah kumpulan muda-mudi duduk lesehan yang memenuhi trotoar, baik di kiri maupun kanan jalan. Di trotoar tepi Kali Code berderet warung makan lesehan. Anak-anak muda ini menikmati kuliner murah meriah ini di dua sisi barat dan timur. Hampir bisa dipastikan, pada jam-jam seperti ini, apalagi pada malam Minggu, Anda sulit mendapat tempat untuk ikut ‘berkongkow-kongkow’.

Sulit dibayangkan pada 2005 kawasan ini akan seramai seperti sekarang. Pada masa itu hanya ada satu lampu jalanan yang menyala. Gelap dan sunyi. Tak heran jika kawasan ini dulu dikenal sebagai sarang begal. Meski demikian lantaran temaram dan sepi pula, tempat ini juga didatangi orang-orang yang berpacaran.
Bagaimana kisahnya bisa seramai sekarang? Dimulai dari gagasan jeli Mara, remaja dari Kampung Ledhok Tukangan yang sering ‘nongkrong’ di kawasan ini, untuk menjual jagung bakar bagi anak-anak muda yang berpacaran di sini. Sekitar Juni 2005, bersama tiga kawannya, ia mulai berjualan jagung bakar sebagai pedagang satu-satunya di tepi Kali Code. Mereka berjualan sejak maghrib hingga sekitar pukul 11 malam. Perkembangannya lumayan. Sehari mereka bisa menjual 50an buah jagung, dimulai dari hanya mendapat Rp 25 ribu pada hari pertama kemudian memperoleh sekitar Rp 150 ribu. Tapi usaha mereka tidak bertahan lama, hanya sampai Agustus. Penyebabnya antara lain, alat bakar jagung yang ditinggal mereka gara-gara hujan, paginya dibawa Satpol PP. Selain lantaran teman-temannya juga tidak berminat meneruskan usaha ini.
Matinya usaha ini ternyata menumbuhkan keberanian orang lain untuk membuka jasa makanan di kawasan rawan ini. Di depan Akprind, Pak Lukman kemudian membuka lesehan dengan menu singkong dan teh poci. Lantas di bekas tempat berjualan jagung, seorang lagi membuka warung bakso. Di sebelahnya, Pak Edi menyusul membuka warung makanan dan minuman sederhana. Setelah warung bakso tutup, Pak Yono, ipar penjual bakso ini, membuka warung serupa. Dan terutama sejak awal 2006, warung-warung lesehan tumbuh bak jamur di musim hujan, utamanya antara depan Balai Bahasa hingga depan Gedung Bimo.
Keberadaan mereka menjadi legal setelah bertemu dengan pihak Kecamatan, didaftar dan diberi surat izin. Di antara belasan warung ini, ada sekitar 14 warung yang memegang surat izin. Kawasan ini pun menjadi marak, sejak maghrib hingga pukul 2 pagi, bahkan pada malam Minggu, bisa sampai pukul 5 pagi. Tidak hanya pedagang makanan yang diuntungkan. Juga pedagang asongan rokok dan permen. Menurut Sandi, salah seorang penjual asongan, ia mendapat penghasilan sekitar Rp 100-200 ribu per malam. Ia dan 7 orang kawannya membentuk perkumpulan untuk membatasi jumlah pengasong di daerah ini.
Malam itu Tembi menikmati teh poci bergula batu, kopi joss dan sepiring nasi tempe penyet di Warung Pak Dhe, milik Pak Yono (44 tahun). ‘Pak Dhe’ adalah nama yang diberikan para pelanggannya yang memang memanggilnya dengan sebutan ‘Pakde’. Tembi melihat bahwa hubungan Pak Yono dengan pembelinya cukup akrab. Warga Ledok Tukangan ini mengaku, ia membuka usaha ini bukan sekadar berjualan tapi juga memperluas persaudaraan (kadhang). Memang asyik berbincang-bincang dengan Pak Yono. Selain soal bisnis kuliner di kawasan ini, ia banyak bercerita soal kejawaan.
Sungguh rileks menyeruput teh poci, diterpa hembusan semilir angin yang sejuk, sambil memandang titik-titik cahaya lampu rumah-rumah kampung di bawah. Teh pocinya cukup sepet, jadi mantap di lidah. Kopi joss, yakni kopi yang dicemplungi arang panas, juga nikmat. Harganya murah meriah. Kopi joss Rp 2.500, nasi tempe penyet Rp 3.500, dan teh poci gula batu Rp 5.000. Dengan harga murah meriah tersebut, toh warung ini mampu meraup pendapatan Rp 300-400 ribu per malam, bahkan bisa Rp 600.000 pada malam Minggu.
Menu warung-warung di tepi Kali Code ini nyaris sama. Ada roti bakar, nasi goreng, sego kucing, mi goreng/rebus, tempe/tahu, ayam goreng, sate usus, dll. Minumannya ada teh, jeruk, kopi, jahe, susu, coklat, dll. Anda bisa berlama-lama di sini, menikmati sentuhan keramahan alam di tengah kota, tanpa merogoh kocek terlalu dalam.
Mara (22 tahun), mahasiswa Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Universitas Sanata Dharma, kini menyuplai es untuk lima warung di tepi Kali Code ini. Ia tidak lagi berjualan jagung bakar atau membuka warung di sini. Mungkin ia tidak menyadari bahwa inisiatifnya merintis usaha kuliner di kawasan tepi Kali Code dulu adalah upaya membuka jalan bagi rangkaian lapangan kerja di daerah ini. Hal yang tidak terbayangkan akan terjadi pada tahun 2005 dan sebelumnya.

Sejarah

Sejak Gunung Merapi meletus pada 25 Oktober 2010 dan berangsur-angsur menyisakan bencana lahar dingin, nama Kali Code sering terangkat oleh media. Kali Code adalah salah satu sungai besar yang membelah Kota Yogyakarta. Pun dalam musibah Gunung Merapi, Kali Code adalah salah satu sungai yang dilalui aliran lahar dingin Merapi.  

Kali Code adalah salah satu kali yang membelah Kota Yogyakarta. Dalam kurun waktu tahun 90-an hingga sekarang, kali ini banyak diperbincangkan oleh masyarakat lokal, nasional, bahkan internasional, karena sejarah, dan aktivitas yang menghiasai kali ini. Kali Code dianggap masyarakat Yogyakarta sebagai kali yang sumber airnya berasal dari kaki gunung Merapi. Oleh karena itu, bagi masyarakat yang daerahnya dilewati aliran Kali Code, air Kali Code memiliki makna tersendiri. Di daerah Sleman, air Kali Code digunakan untuk mengairi sawah mereka, sedangkan di daerah Bantul, air Kali Code bahkan digunakan untuk air minum.

Dilihat dari sejarahnya, Kali Code juga merupakan sebuah aliran kali yang digunakan untuk mengantisipasi keluarnya lahar dingin dari letusan Gunung Merapi, jika seandainya meluap hingga Kota Yogyakarta. Untuk itu dan sekaligus menghindari abrasi, pemerintah Kota Yogyakarta telah membuat talud (dinding sungai) dan juga mengeruk dasar Kali Code.

Pada tahun 1970-an, Kali Code relatif tidak dapat dimanfaatkan lagi karena dipenuhi sampah rumah tangga. Kondisi ini membuat seorang budayawan, Y.B. Mangunwijaya atau yang lebih dikenal dengan Romo Mangun, tergerak untuk menciptakan Kali Code menjadi kali yang indah, bersih, dan dapat dinikmati. Langkah pertama yang dilakukan oleh Romo Mangun adalah mendekati, dan memahamkan warga yang menghuni bantaran Kali Code, agar tidak membuang sampah sembarangan.

Romo Mangun rela tinggal di bantaran kali untuk memberi contoh kepada warga tentang bagaimana menjaga kali. Hasilnya adalah Kali Code menjadi bersih, indah, dan menjadi lokasi wisata alam yang menyenangkan dan menghasilkan nilai budaya, serta ekonomi warganya. Sejak saat itu, banyak turis lokal, nasional, dan internasional berkunjung menikmati indahnya alam Kali Code. Sepeninggal Romo Mangun, aktivitas pemberdayaan warga Kali Code diteruskan oleh pegiat sosial yang tergabung dalam Yayasan Pondok Rakyat. Yayasan ini juga aktif membangun kampung percontohan, seperti Badran, Tungkak, Kricak, dan Sidomulyo, yang kondisinya sama dengan Kali Code.

Sejurus dengan itu, Pemerintah Kota Yogyakarta juga ikut aktif dalam memberikan dukungan kepada warga Kali Code dan pihak-pihak tertentu, dalam program-program pelestarian keindahan Kali Code. Saat ini, bantaran Kali Code menjadi salah satu tempat wisata alam yang menarik dan indah untuk dinikmati. Warga di sepanjang bantaran kali, dari ujung utara hingga selatan yang tergabung dalam kelompok Pemerti Code juga bersemangat untuk terus menciptakan Kali Code menjadi kawasan yang bersih dari sampah dengan membuat program “Nol Sampah di Kali Code 2010”. Pada tahun 2010, dengan program program Nol Sampah di Kali Code 2010, warga Kali Code berhasil mendapatkan penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan kategori Program Bersih Kali (Prokasih) terpanjang.

Keistimewaan

Salah satu keistimewaan wisata alam Kali Code adalah Anda dapat menikmati air kali dengan terjun ke dalamnya atau hanya sekadar duduk di tembok-tembok dekat kali, sambil menikmati minum kopi atau makan. Kondisi ini sangat menarik dan nikmat jika dilakukan saat sore hari atau ketika bulan purnama. Suara gemericik air akan menambah suasana menjadi syahdu.

Keistimewaan yang lain lokasi wisata alam ini adalah Anda dapat menikmati berbagai aktivitas sosial dan budaya yang digelar di Kali Code, seperti program Code River Walk yang dimulai tahun 2007, program kebersihan Kali Code Nol Sampah Sungai Code Tahun 2010, yang melibatkan beberapa perguruan tinggi seperti UGM, UAJY, UII, STPMD APMD, dan Poltekes, dan Festival Bocah Obah, yakni berupa pergelaran berbagai mainan anak-anak dalam rangka mengisi hari libur.

Lokasi

Lokasi wisata Kali Code terletak di Kelurahan Kota Baru, Kecamatan Gondokusuman, Yogyakarta. Bantaran Kali Code membujur dari Jembatan Tungkak, Jembatan Sayidan, Jembatan Juminahan, Jembatan Gondolayu, Jembatan Sarjito, Jembatan Blunyah, Jembatan Ring Road Utara, Jembatan Dayu, dan Jembatan Plumbon. Anda dapat menikmati keindahan kali Code dari atas jembatan-jembatan ini, atau Anda dapat turun ke kampung di bantaran Kali Code untuk melihat Kali Code lebih dekat, atau untuk berinteraksi dengan warga setempat. Pada malam hari, suasana Kali Code terasa indah dengan adanya lampu-lampu yang meneranginya.

Akses

Lokasi wisata alam Kali Code dapat diakses dengan mudah dan murah, karena hampir seluruh kendaraan umum, seperti bis umum atau taksi melewati jalan yang dilalui oleh aliran Kali Code. Akan lebih mudah jika Anda menggunakan kendaraan pribadi.

Apabila Anda menggunakan kendaraan umum, setidaknya ada dua titik di sisi Kali COde yang dapat diakses dengan mudah, yaitu:

  • Jika Anda naik bis umum atau taksi, Anda dapat turun di Jembatan Gondomanan dan berjalan kaki menuju Kampung Code.
  • Atau Anda dapat turun di pusat kota, baik Malioboro, stasiun Tugu, maupun Pasar Beringharjo, lalu berjalan menuju bantaran kali yang terletak di sebelah timur lokasi-lokasi tersebut.
Harga Tiket 

Anda yang ingin menikmati indahnya alam Kali Code tidak dipungut biaya serupiah pun. Anda hanya diminta untuk menjaga kelestariaan kali dengan tidak membuang sampah sembarangan atau mencorat-coret dinding kali.

Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Wisata alam Kali Code menyediakan berbagai fasilitas yang memudahkan Anda untuk menikmatinya. Beberapa rumah warga yang menghuni Kali Code tampak disewakan untuk pengunjung yang ingin menginap dengan harga sewa yang cukup terjangkau. Hal ini sangat memudahkan Anda yang bertujuan untuk meneliti kehidupan sosial Kali Code, sebab dengan begitu peneliti dapat bersosialisasi secara langsung dengan warga yang diteliti.

Wisata alam Kali Code juga dikelilingi berbagai fasilitas publik seperti hotel dari kelas ekonomi hingga berbintang. Selain itu juga beragam jasa layanan publik seperti pijat tradisional, loundry, warung tradisional, warung kebutuhan sembako, maupun yang lain, banyak tersedia di sekitar lokasi wisata. Letak lokasi wisata alam Kali Code yang berada di tengah kota sangat memudahkan Anda mengakses berbagai hal di Yogyakarta.

Malioboro City Walk

A. Selayang Pandang
Di kota Yogyakarta, di mana banyak orang menyebut kota ini memiliki sejuta kenangan, terdapat satu kawasan belanja legendaris, yakni Malioboro. Penamaan ‘Malioboro‘ diadopsi dari nama seseorang anggota kolonial Inggris yang pernah menduduki Yogyakarta pada tahun 1811—1816 M, yakni Marlborough.

Malioboro tidak lepas dari kota Jogja, bahkan bisa dibilang sudah menjadi ikon kota Jogja. Setiap kali menyebutkan Malioboro, orang akan tahu bahwa Malioboro itu di Jogja. Malioboro yang terletak sekitar 1 km dari Kraton Jogja merupakan pusat perekonomian yang sangat ramai di kota Jogja. Di jalan ini berdiri pertokoan, rumah makan hotel dan perkantoran yang membuat kawasan ini tidak pernah lengang. Di ujung Selatan dari kawasan ini, tepatnya di Jl. Ahmad Yani, terdapat Pasar Beringharjo yang juga dikenal dengn sebutan 'Pasar Gede’. Terdapat juga Benteng Vredeburg yang dulunya merupakan benteng pertahanan Belanda dari serangan pasukan Kraton. Diseberang benteng ini adalah Gedung Agung, yang dulu pernah digunakan sebagai Istana Negara pada masa pemerintahan Presiden Soekarno saat ibukota negara dipindahkan ke Jogjakarta.
Malioboro memang sengaja dibangun di jantung kota Yogyakarta oleh pemerintah Kolonial Hindia-Belanda di awal abad ke-19 sebagai pusat aktivitas perekonomian dan pemerintahan. Kawasan ini secara simbolis juga berfungsi untuk menandingi dominasi kekuasaan Sultan Mataram melalui kemegahan keratonnya.

Untuk tujuan tersebut, didirikanlah: Benteng Vredeburg [1765, kini menjadi museum dan arena wisata publik], Istana Keresidenan Kolonial [sekarang menjadi Istana Presiden, Gedung Agung di tahun 1832 M], Pasar Beringharjo, Hotel Garuda [tempat menginap dan berkumpul para elite kolonial ketika itu] dan kawasan pertokoan [perekonomian] Malioboro sendiri. Posisi semua bangunan tersebut berada di depan [utara] Alun-Alun yang menjadi halaman keraton. Bangunan-bangunan bersejarah peninggalan kolonial yang terletak di kawasan Malioboro tersebut menjadi saksi bisu perjalanan kota yang kerap disebut kota pelajar ini dari masa ke masa. Kelak, kawasan ini direncanakan akan menjadi sebuah kawasan pedestrian agar mengurangi kemacetan kendaraan bermotor dan polusi udara dalam kota.
B. Keistimewaan
Sebagai kawasan wisata, Malioboro menyajikan berbagai variasi aktivitas berbelanja. Mulai dari cara-cara berbelanja tradisional khas Malioboro, hingga bentuk-bentuk aktivitas belanja modern.
Beragam cara berbelanja khas Malioboro salah satunya ialah proses tawar-menawar berbagai cenderamata yang dijajakan oleh pedagang kaki lima yang berjajar di sepanjang trotoar di kawasan ini. Para pedagang itu menjual beraneka cenderamata dan kerajinan yang terbuat dari perak, gerabah, kain batik, kayu, kuilt, dan lain sebagainya. Namun, jangan heran, misalnya, apabila penjaja menawarkan suvenir yang diminati dengan harga Rp 50.000. Tawaran seperti ini harus disusul dengan proses tawar-menawar dari wisatawan. Sehingga, harga dapat turun drastis hingga, misalnya, si pedagang melepasnya dengan harga Rp 10.000 saja. Hal ini juga dapat wisatawan lakukan ketika mengunjungi Pasar Tradisional Beringharjo yang masih satu area dengan Malioboro. Inilah keunikan dari tradisi wisata belanja di Malioboro.
Berbeda dengan belanja di sepanjang jalan Malioboro ini. Di toko-toko di kawasan Malioboro, wisatawan dapat membeli barang-barang yang diminati, mulai dari batik, berbagai suvenir, pakaian, dan lain sebagainya tanpa ada proses tawar-menawar. Di sini, nampak Malioboro juga hadir sebagai kawasan perbelanjaan modern.
Mengunjungi kawasan ini ibarat pepatah sambil menyelam minum air. Malioboro dekat dengan obyek-obyek wisata sejarah, wisata arsitektur peninggalan kolonial, dan juga wisata belanja tradisional lainnya. Obyek-obyek wisata sejarah yang berada di sekitar Malioboro di antaranya Keraton Yogyakarta dan alun-alunnya, Masjid Agung, Benteng Vredeburg, Museum Sonobudoyo, dan Kampung Kauman. Sedangkan pada wisata arsitektur peninggalan kolonial di Yogyakarta yang masih dapat disaksikan, seperti Gedung Societet [sekarang Taman Budaya], Hotel Inna Garuda, Bank Indonesia, dan Bank BNI‘46. Dan, dua obyek wisata belanja tradisional di dekat kawasan ini, yaituPasar Ngasem dan Pasar Beringharjo. Selain itu, bagi wisatawan yang gemar membaca, kawasan ini juga menyediakan perpustakaan umum milik Pemerintah Provinsi DIY.
Selain pelbagai keragaman suasana di atas, wisatawan juga dapat menyaksikan kekhasan lain Malioboro berupa puluhan becak dan andong wisata khas Yogyakartayang diparkir paralel di sebelah kanan jalan di jalur lambat kawasan ini yang siap mengantar wisatawan berkeliling Malioboro dan sekitarnya. Sedangkan di sebelah kiri jalan, wisatawan dapat melihat ratusan sepeda motor diparkir berjajar di sepanjang trotoar Malioboro yang menjadi tanda bahwa Malioboro adalah kawasan ramai pengunjung.
Segala aktivitas turisme di atas biasanya dilakukan di siang hingga malam hari sekitar pukul 21.00 WIB. Di malam harinya, Malioboro menyuguhkan kepada wisatawan nuansa makan malam dengan berbagai pilihan menu di warung-warung lesehan khasYogyakarta yang berjejer rapi di tepi jalan Malioboro. Para musisi jalanan akan menghampiri dan menemani santap malam wisatawan di berbagai warung lesehan ini. Masakan yang lezat, lantunan lagu-lagu dari para musisi jalanan, terang lampu kota, dan semilir angin berhembus di malam hari membuat wisatawan kerasan dan akan mengenang Malioboro sebagai kawasan yang seolah tak tertandingi.
C. Lokasi
Kawasan ini terletak di Jalan Malioboro, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta,Indonesia. Hanya sekitar 800 meter dari Keraton Yogyakarta.
D. Akses
Lantaran menjadi kawasan andalan pariwisata di Yogyakarta, wisatawan memiliki banyak pilihan transportasi yang sesuai untuk sampai di Malioboro.
Wisatawan bisa naik bus: bus kota [menggunakan Jalur 4] dan bus Transjogja [trayek 3A atau 3B]. Semua jenis bus ini dapat ditemui di Terminal Pusat Giwangan atau halte-halte yang ada di seputar Jogja. Tarif bus kota saat ini Rp 2.000, sedangkan untuk bus Transjogja sebesar Rp 3.500 [April 2008].
Ada pula taksi yang bisa dijadikan pilihan lain bagi wisatawan, baik pesan via telepon dari penginapan maupun mencegatnya di pinggir jalan di Yogyakarta. Jika ingin menikmati suasana Kota Yogyakarta, maka bisa dipilih andong wisata maupun becak.
E. Harga Tiket
Memasuki kawasan Malioboro, wisatawan tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Tak diragukan lagi bahwa kawasan ini menyediakan berbagai macam akomodasi bagi wisatawan, mulai dari hotel berbintang lima dengan harga sewa kamar per malamnya mencapai ratusan ribu bahkan jutaan, hingga motel-motel atau homestay, yang harga sewa tiap kamarnya sangat murah. Bagi yang berminat menginap, wisatawan dapat mencarinya di sekitar Jalan Mangkubumi, Jalan Dagen, Jalan Sosrowijayan, Jalan Malioboro, Jalan Suryatmajan, dan Jalan Mataram. Atau mencari penginapan di bagian barat kawasan ini, yakni Jalan Ngasem yang terletak di dekat Pasar Burung Ngasem dan daerah Wijilan yang letaknya tidak jauh dari kawasan Malioboro.
Selain itu, wisatawan juga dapat memilih berbagai masakan berdasarkan selera masing-masing, mulai dari angkringan [warung berbentuk gerobak yang menyediakan serba-serbi makanan lokal] yang letaknya di utara Stasiun Tugu, masakan-masakan khas Yogyakarta [seperti gudeg, nasi goreng, lalapan, dsb.] yang disajikan dengan suasana lesehan, berbagai masakan Cina, sampai fastfood atau masakan-masakan a la Barat [seperti steak, beef lasagna, dsb.] dalam restoran atau café-café yang ada di sekitar Malioboro.
Fasilitas yang menunjang kawasan ini tak hanya berupa akomodasi dan tempat makan saja, melainkan juga pos informasi bagi wisatawan, polisi pariwisata, tempat ibadah, kios-kios money changer, ATM, kios telepon, warung internet, tempat parkir yang luas, sampai Stasiun Kereta Api Tugu. Jika wisatawan ingin membeli buah tangan untuk sanak keluarga di rumah, cukup berkunjung di sekitar Jalan Mataram atau di sebelah barat Malioboro yang menyediakan berbagai macam penganan khas Jogja, seperti bakpia, geplak, yangko, dan puluhan jenis keripik.

Di kawasan Malioboro ini terkenal dengan para pedagang kaki lima. Anda bisa berbelanja aneka produk kerajinan lokal seperti batik, hiasan rotan, wayang kulit, bermacam tas, sandal, sepatu juga blangkon (topi khas Jawa) serta barang-barang perak, emas, hingga pedagang yang menjual pernak pernik lain. Saat berbelanja di kaki lima, anda bisa menawar harga barang yang akan anda beli, jika pandai menawar dan beruntung, anda bisa mendapatkan penurunan harga sepertiga atau bahkan setengah harga dari harga yang ditawarkan. 

Saat hari mulai menjelang sore, banyak lapak lesehan yang mulai dibuka. Disini anda bisa menikmati makanan khas Jogja seperti gudeg atau pecel selain itu juga  tersedia aneka masakan oriental ataupun seafood. Bagi anda yang ingin mencicipi makanan di sepanjang jalan Malioboro, pastikan untuk meminta daftar harga serta memastikan harganya pada penjual  guna menghindari naiknya harga yang kurang wajar.

Tugu Jogja, Landmark Kota Jogja Paling Terkenal

Tugu Jogja merupakan landmark Kota Yogyakarta yang paling terkenal. Monumen ini berada tepat di tengah perempatan Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Jendral Soedirman, Jalan A.M Sangaji dan Jalan Diponegoro. Tugu Jogja yang berusia hampir 3 abad memiliki makna yang dalam sekaligus menyimpan beberapa rekaman sejarah kota Yogyakarta.

Tugu Jogja kira-kira didirikan setahun setelah Kraton Yogyakarta berdiri. Pada saat awal berdirinya, bangunan ini secara tegas menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajahan. Semangat persatuan atau yang disebut golong gilig itu tergambar jelas pada bangunan tugu, tiangnya berbentuk gilig (silinder) dan puncaknya berbentuk golong (bulat), sehingga disebut Tugu Golong-Gilig.
Tugu Yogyakarta adalah sebuah tugu atau menara yang sering dipakai sebagai simbol/lambang dari kota Yogyakarta. Tugu ini dibangun oleh Hamengkubuwono I, pendiri kraton Yogyakarta. Tugu ini mempunyai nilai simbolis dan merupakan garis yang bersifat magis menghubungkan laut selatan, kraton Jogja dan gunung Merapi. Pada saat melakukan meditasi, konon Sultan Yogyakarta pada waktu itu menggunakan tugu ini sebagai patokan arah menghadap puncak gunung Merapi.
Tugu ini sekarang merupakan salah satu objek pariwisata Yogya, dan sering dikenal dengan istilah “tugu pal putih” (pal juga berarti tugu), karena warna cat yang digunakan sejak dulu adalah warna putih. Tugu pal ini berbentuk bulat panjang dengan bola kecil dan ujung yang runcing di bagian atasnya. Dari kraton Yogyakarta kalau kita melihat ke arah utara, maka kita akan menemukan bahwa Jalan Malioboro, Jl Mangkubumi, tugu ini, dan Jalan Monument Yogya Kembali akan membentuk satu garis lurus persis dengan arah ke puncak gunung Merapi.

Secara rinci, bangunan Tugu Jogja saat awal dibangun berbentuk tiang silinder yang mengerucut ke atas. Bagian dasarnya berupa pagar yang melingkar sementara bagian puncaknya berbentuk bulat. Ketinggian bangunan tugu pada awalnya mencapai 25 meter.

Semuanya berubah pada tanggal 10 Juni 1867. Gempa yang mengguncang Yogyakarta saat itu membuat bangunan tugu runtuh. Bisa dikatakan, saat tugu runtuh ini merupakan keadaan transisi, sebelum makna persatuan benar-benar tak tercermin pada bangunan tugu.
Keadaan benar-benar berubah pada tahun 1889, saat pemerintah Belanda merenovasi bangunan tugu. Tugu dibuat dengan bentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi itu. Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing. Ketinggian bangunan juga menjadi lebih rendah, hanya setinggi 15 meter atau 10 meter lebih rendah dari bangunan semula. Sejak saat itu, tugu ini disebut juga sebagai De Witt Paal atau Tugu Pal Putih.
Perombakan bangunan itu sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk mengikis persatuan antara rakyat dan raja. Namun, melihat perjuangan rakyat dan raja di Yogyakarta yang berlangsung sesudahnya, bisa diketahui bahwa upaya itu tidak berhasil.

Bila anda ingin memandang Tugu Jogja sepuasnya sambil mengenang makna filosofisnya, tersedia bangku yang menghadap ke tugu di pojok Jl. Pangeran Mangkubumi. Pukul 05.00 - 06.00 pagi hari merupakan saat yang tepat, saat udara masih segar dan belum banyak kendaraan bermotor yang lalu lalang. Sesekali mungkin anda akan disapa dengan senyum ramah loper koran yang hendak menuju kantor sirkulasi harian Kedaulatan Rakyat.

Sore hingga tengah malam, ada penjual gudeg (masakan khas Yogyakarta) di pojok Jl. Diponegoro. Gudeg di sini terkenal enak dan harganya wajar. Anda bisa makan secara lesehan sambil menikmati pemandangan ke arah Tugu Jogja yang sedang bermandikan cahaya. Banyak pula yang berfoto-foto ria di depan Tugu atau sekedar duduk-duduk saja di sekelilingnya sambil melihat pemandangan jalan raya dengan kendaraan yang lalu-lalang.
Begitu identiknya Tugu Jogja dengan Kota Yogyakarta, membuat banyak mahasiswa perantau mengungkapkan rasa senangnya setelah dinyatakan lulus kuliah dengan memeluk atau mencium Tugu Jogja. Mungkin hal itu juga sebagai ungkapan sayang kepada Kota Yogyakarta yang akan segera ditinggalkannya, sekaligus ikrar bahwa suatu saat nanti ia pasti akan mengunjungi kota tercinta ini lagi.

Sabtu, 14 Mei 2011

Tak Ada Apa-apa

Aku hanyalah secarik kertas kosong
Yang tak tertulis kata mutiara
Atau tergambar lukisan indah,
Tak ada apa-apa

Aku berdiri hanya dgn kakiku
Melangkah dengan baju kesederhanaanku
Meski kadang tertusuk kerikil tajam
Tanpa alas kaki terpasang,
Tak ada apa-apa

Aku hanyalah seonggok kayu
Laksana tak bernyawa
Bernafas namun serasa tak berjiwa
Hanya ada tatapan kosong belaka,
Tak ada apa-apa

Tapi ku punya TUHAN
Yang selalu membuat jiwa ini tenang
Dan mengarungi hidup dgn senyuman
Seperti......
TAK ADA APA-APA